Kisah inspiratif kali ini akan
menceritakan tentang 3 kisah hikmat terkait Imam Ahmad bin Hambal
Rahimakumullah. Seperti kita ketahui Imam Ahmad bin Hambal adalah murid dari Imam Syafi'i, beliau juga dikenal
sebagai Imam Hanbali atau Imam Ahmad.
Kisah inspiratif Imam Ahmad bin
Hambal dengan Pembuat Roti
Kisah ini sangat masyhur,
dikarenakan hikmah dan manfaatnya yang bisa kita dapatkan. Kisah inspiratif tentang
Imam Ahmad sang ulama hadis secara lengkapnya seperti berikut ini.
Suatu waktu ketika Imam Ahmad
sudah beranjak tua di penghujung usianya. Dengan tidak memiliki dasar apapun,
dan tidak tau apa-apa, tiba-tiba beliau ingin sekali menuju ke salah satu kota
di Irak. Padahal disana beliau tidak memiliki saudara, dan juga tidak memiliki janji
dengan orang dan tidak pula ada keperluan.
Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke salah satu kota di
Irak.
Begitu tiba disana waktu maghrib
Imam Ahmad ikut jamaah, sehabis sholah maghrib Imam Ahmad rehat sejenak,
membaca Al Quran.
Di Irak, semua orang mengetahui
siapa imam Ahmad bin Hambal, seorang ulama besar dan ahli hadits, sejuta hadits
dihafalnya, seorang yang shalih dan zuhud. Tentu, zaman itu tidak ada foto
sehingga orang awan yang belum mengenalnya tidak tau wajahnya, akan tetapi nama
besarnya sudah terkenal.
Sejenak kemudian berkumandang
adzan Isya', beliau juga mengikuti shalat Isya’ berjamaah disana, semua terasa
biasa. Begitu selesai shalat Isyak dan jamaah bubar, imam Ahmad menuju pojok
masjid dan ingin tidur di sana, ketika bersiap-siap merebahkan diri, tiba-tiba
Marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya; "Kamu mau ngapain
disini, syaikh?."
Untuk diketahui dalam kisah
inspiratif ini, kata "syaikh" dalam bahasa Arab bisa dipakai untuk 3
panggilan: pertama, panggilan kepada orang tua, kedua, panggilan kepada orang
yang kaya raya, dan ketiga panggilan kepada orang alim atau berilmu.
Tentulah, Panggilan Syaikh kepada
Imam Ahmad ini, adalah panggilan sebagai orang tua, karena marbot masjid
melihat Imam Ahmad sebagai orang yang sudah tua.
“saya mau istirahat, tidur disini,
saya Musafir.” Jawab Imam Ahmad.
“tidak boleh, peraturan! Masjid
tidak boleh untuk tidur” jawab marbot istiqomah dengan larangannya.
Zaman dahulu tidak ada
penginapan, jadi menginap di masjid adalah pilihan yang memungkinkan untuk
dilakukan.
Kemudian Imam Ahmad keluar
masjid, dan sesampai teras masjid Imam Ahmad kembali ingin tidur disana.
“wahai syaikh, kamu mau apa lagi disitu?”
tanya marbot lagi mengikuti Imam Ahmad sampai di teras
“mau tidur, saya musafir! Besuk saya
mau meninggalkan kota ini. Saya tidak punya saudara, tidak ada juga tempat
menginap” Imam Ahmad menerangkan.
“tidak boleh, Peraturan tidak
boleh dilanggar, masjid tidak boleh untuk tidur.” Jawab marbot sekali lagi
dengan konsistensinya. Dan mendorong Imam Ahmad bin Hambal sampai ke jalanan.
Lihat, kalau saja Imam Ahmad berkenan memperkenalkan dirinya, tentu dia akan
dijamu, bertamu ke rumah Marbot itu. Tapi itu tidak dilakukan.
Disamping masjid itu, ada penjual
roti yang berdiam di sebuah rumah kecil sekaligus untuk membuat & menjual
roti. Penjual roti ini sedang membuat adonan untuk roti jualannya, tentunya
penjual roti ini mendengar dan melihat kejadian ketika imam Ahmad
didorong-dorong oleh marbot di masjid tadi.
Ketika imam Ahmad sampai di
jalanan, penjual roti itu memanggilnya,
"Mari syaikh, Mari ke tempat
Saya.”
“Saya punya rumah diseberang
sana, silahkan anda boleh menginap di rumah
saya, saya punya tempat, meskipun kecil."
“silahkan menginap di rumah saya
ini, ada kamar meskipun kecil dan silahkan kalau besuk pagi mau melanjutkan
perjalanan.”
"Baik". Imam Ahmad menerima tawaran penjual roti
yang usianya hampir sama dengannya, sama tua nya.
Imam Ahmad kemudian masuk ke rumah pembuat roti itu, duduk
dibelakang penjual roti yg sedang membuat roti, dengan tetap tidak
memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir.
Dengan seksama Imam Ahmad
memperhatikan perilaku yang sangat khas dari Penjual roti ini. Kalau imam Ahmad
mengajak bicara, dijawab seperlunya. Akan tetapi kalau tidak ada pertanyaan pembuat roti ini terus
membuat adonan roti sambil terus melafadzkan istighfar,
“Astaghfirullah al adzim wa atuubu ilaik”
Secara berulang tidak pernah
berhenti kecuali ada sela dari Imam Ahmad,
Saat memecahkan telur, astaghfirullah
Saat mencampur gandum, astaghfirullah
Saat memberi garam, astaghfirullah
Pembuat roti ini senantiasa
mengucapkan Istighfar dalam setiap tindakannya. Sebuah perilaku yang penuh
dengan amalan mulia. Imam Ahmad memperhatikan terus.
Kemudian imam Ahmad bertanya, "sudah berapa lama kamu merutinkan
membaca Istighfar itu?"
Penjual roti yang sudah tua itu menjawab;
"Sudah lama sekali syaikh, saya menjual roti sudah 30
tahun, jadi semenjak itu saya lakukan kebiasaan itu."
Imam Ahmad semakin penasaran, dan melanjutkan pertanyaannya;
"Apa hasil dari perbuatanmu ini dengan melafadzkan
istighfar sebanyak ini?"
Penjual roti itu menjawab, “tidak
ada sesuatu apapun yang saya minta kepada Allah, pasti di ijabahi oleh Allah
swt.”
Lalu orang itu melanjutkan,
"Semua dikabulkan Allah kecuali satu hal yang masih belum Allah swt berikan
kepada saya."
Imam Ahmad melanjutkan penasarannya lantas bertanya;
"Apa itu?"
"Saya minta kepada Allah
supaya dipertemukan dengan imam Ahmad bin Hambal." Jawab penjual roti tua
itu.
Seketika itu juga imam Ahmad bertakbir,
"Allahu Akbar!
Istighfarmulah yang membuat Aku datang ke kota ini dengan tidak punya dasar
apapun. Istighfarmulah yang membuat aku didorong-dorong oleh marbot keluar dari
masjid, dan Istighfarmulah yang membuat aku masuk ke rumahmu ini, karena aku
adalah Imam Ahmad Bin Hambal”
Penjual roti itu terperanjat,
memuji Allah, ternyata yg didepannya adalah Imam Ahmad bin Hambal yang selalu
di pinta dalam setiap doanya.
"Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan
keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yg
tidak disangka-sangkanya." HR Bukhari
Betapa besar manfaat Istighfar ketika kita bisa
merutinkannya.
Kisah Inspiratif Jin dan Sandal Imam Ahmad Bin Hambal
Kisah inspiratif ke dua ini
bercerita ketika Suatu hari Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahumullah sedang berada
di masjid. Kemudian datanglah utusan khalifah waktu itu, Al Abbas Al Mutawakkil
kepada beliau sambil memberitahukan bahwa ada salah seorang kerabatnya yang
bernama Jariyah, yang sedang kerasukan jin.
Khalifah Al Mutawakkil meminta
Imam Ahmad bin Hambal untuk berdoa kepada Allah swt agar kerabatnya diberi
kesembuhan, dan jin yang mengganggunya bisa segera pergi.
Imam Ahmad menerima permintaan
khalifah, kemudian berdoa. Setelah Imam Ahmad selesai berdoa, beliau kemudian menitipkan
sandalnya lalu beliau berkata:
“Bawalah sandal ini ke kediaman
Amirul Mu’minin dan duduklah engkau di sebelah kepala Jariyah dan katakan
kepadanya (kepada jin) yang merasuki tubuh Jariyah, bahwa Ahmad bin Hanbal
berkata kepadamu,
“Segera keluarlah dari tubuh Jariyah ini atau aku akan
memukulmu dengan sandal ini 70 kali!”
kemudian utusan khalifah ini berpamitan
kepada Imam Ahmad, dan segera pulang menuju istana dan melaksanakan apa yang
diperintahkan Imam Ahmad terkait Jariyah, kemudian berkata kepada jin
sebagaimana yang di katakan oleh Imam Ahmad,
Kemudian jin yang merasuki tubuh Jariyan tersebut berkata
melalui lisan Jariyah:
“Aku mendengar dan aku mentaati
perintah Imam Ahmad. Kalaupun seandainyapun Ahmad bin Hanbal menyuruhku pergi
dari Iraq, aku pasti akan menuruti perintahnya. Sesungguhnya dia itu orang yang
taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada Allah, pasti akan menurut
kepadanya.”
Kemudian jin ifrit tersebut
segera keluar dari tubuh Jariyah dan pergi.
Sepeninggal Imam Ahmad bin Hambal
wafat, jin yang dahulu pernah merasuki tubuh Jariyah kembali lagi merasuk pada
tubuh Jariyah. Khalifah Al Mutawakkil kembali mengutus utusannya untuk bertamu
ke kediaman Imam Ahmad bin Hambal dan meminjam sandal yang pernah di pakai oleh
beliau untuk digunakan sebagai pengusir Jin itu.
Alih-alih keluar, jin Ifrit tadi malah menjawab:
“Aku tidak mau keluar. Aku tidak
mau menuruti perintahmu. Aku mengetahui Imam Ahmad bin Hambal sudah meninggal. Sesungguhnya
Ahmad bin Hambal itulah yang taat kepada Allah dan aku hanya mau menuruti
perintahnya, bukan karena sandalnya.”
Imam Ahmad Bin Hambal dan Wanita Penenun Kain
Suatu hari ketika sedang berada
dalam majelis, Imam Ahmad bin Hambal ra dikunjungi seorang wanita yang ingin
bertanya perihal pekerjaannya.
“lmam, Keadaan saya sangat
miskin, suami saya telah meninggal beberapa waktu lalu, sehingga untuk
membesarkan anak-anak saya, saya mengait benang di malam hari, sementara siang
hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak saya dan bekerja sebagai buruh kasar.
Karena saya tidak mampu membeli lampu, maka pekerjaan
mengait benang itu saya lakukan apabila bulan
di atas langit bersinar terang.”
Imam Ahmad ra mendengar dengan takzim
pertanyaan wanita yang mengaku sebagai penyulam benang itu. Perasaannya
tersentuh mendengar ceritanya yang menyayatkan hati.
Imam Ahmad bin Hambal adalah
orang yang zuhud lagi dermawan, sebenarnya beliau telah tergerak hatinya
sekedar untuk memberi bantuan sedekah kepada perempuan itu, namun ia tangguhkan
dahulu hasratnya karena ingin mendengar semua ucapan wanita itu.
Wanita itu kembali meneruskan
ceritanya
“Pada suatu malam, ada satu
rombongan kalifah yang mendirikan kemah di
depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya sangat banyak sehingga
sinarnya terang benderang. Tanpa pengetahuan mereka, saya segera mengait benang
dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu.
Tetapi setelah selesai menyulamnya,
hati saya gundah dan bimbang, apakah hasil tenunan kain ini halal atau haram
kalau saya jual?
Bolehkah hasil penjualan kain itu untuk makan saya dan anak
anak?
Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu
yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu itu adalah adalah uang dari
rakyat.”
Imam Ahmad bin Hambal terperangah
dengan kemuliaan hati wanita penyulam benang itu. Ia begitu tulus dan jujur, di
tengah masyarakat masih ditemukannya hal unik dari wanita itu meskipun jelas
sekali wanita ini begitu miskin lagi
fakir.
Maka dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, Imam Ahmad ra
bertanya,
“Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”
Dengan suara berat wanita penyulam benang ini menjawab,
“Saya adalah adik Basyar Al-Hafi.”
Imam Ahmad rahimahumullah sangat
terkejut dengan pengakuan wanita penyulam benang itu. Seperti diketahuinya, Basyar Al-Hafi ra
adalah Gubernur yang terkenal karena keadilannya dan rakyatnya sangat menaruh
rasa hormat kepadanya diwaktu hidupnya. Alih-alih menyalahgunakan jabatannya
untuk kepentingan diri, keluarga dan kerabatnya, adik kandungnya sendiri pun
memiliki kehidupan sewajarnya, dan miskin.
Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad ra berkata,
“Sekarang ini, ketika sebagian orang
berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan
menyalahgunakan uang negara serta menyusahkan sebagian rakyat yang sudah
miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau, lbu. sungguh,
sehelai rambutmu yang tanpa sengaja keluar dari celahan jilbabmu itu jauh lebih
baik, apabila dibandingkan dengan lapisan serban yang kupakai dan lapisan-lapisan
jubah yang dikenakan para ulama.
Subhanallah, sungguh mulia hatimu,
hasil sulaman itu engkau tanyakan untuk menyelamatkan hartamu dari mengandung
keharaman hasil jerih payahmu? Padahal bagi kami itu bukan perkara apa-apa,
sebab yang engkau lakukan itu sama sekali tidak merugikan uang negara.”
Kemudian Imam Ahmad ra
melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan sebutkan
permintaan kepadaku, semoga aku berkenan memberikannya kepadamu, meskipun
separuh dari hartaku, niscaya akan ku sedekahkan kepada wanita berhati mulia
sepertimu.”